M U D I K

WhatsApp Image 2025-03-30 at 16.01.29

Oleh:

Tiomy B Adi

( Sekretaris ICMI Provinsi Papua Pegunungan)

Dosen Pascasarjana UNAIM Yapis wamena

 

Setiap tahun, menjelang hari raya, jutaan orang berbondong-bondong meninggalkan kota, menempuh perjalanan jauh, rela berdesakan, dan menghadapi kemacetan demi satu tujuan, “Mudik”. Antropolog dan sosiolog berpendapat bahwa mudik memperkuat ikatan keluarga dan sosial. Kembalinya individu ke kampung halaman sering memperdalam hubungan keluarga dan komunitas, yang sangat penting dalam budaya Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah mudik berarti kembali ke tempat asal atau kampung halaman. Kata tersebut berasal dari kata “udik”, yang merujuk pada desa, dusun, atau lingkungan pedesaan. Dalam bahasa Jawa, mudik adalah singkatan dari “mulih diluk”, yang berarti kembali ke kampung halaman setelah merantau di kota lain. Sementara itu, dalam bahasa Betawi, mudik juga berarti pulang ke kampung. Dari sudut pandang budaya, mudik saat Lebaran dilihat sebagai bentuk nyata dari aspek budaya yang khas, dan dapat dipahami sebagai ruang budaya masyarakat Indonesia. Perayaan Lebaran tidak hanya merupakan ritual keagamaan, tetapi juga sebuah peristiwa budaya yang sangat dinanti, dihormati, dan memiliki makna penting dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

 

Mudik adalah Perjalanan Hati

Di balik fisik yang lelah setelah menempuh ratusan kilometer, mudik sejatinya adalah perjalanan batin. Ia adalah proses mengingat, merindukan, dan kembali kepada asal. Kota mungkin memberi kita pekerjaan, uang, dan kesibukan, tapi kampung halaman menyimpan cerita, kenangan, dan cinta yang tak tergantikan. Mudik bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang dalam. Ia mengingatkan kita pada hakikat fitrah kembali kepada asal, keluarga, dan nilai-nilai kemanusiaan yang murni. Sejarah mudik juga memiliki akar yang dalam dalam budaya Indonesia. Menurut Umar Kayam dalam bukunya Seni, Tradisi, Masyarakat Yogyakarta (2002), mudik pada awalnya merupakan tradisi masyarakat petani Jawa yang telah ada sejak lama, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit. Tradisi ini dimulai dengan kegiatan membersihkan makam nenek moyang dan melaksanakan doa bersama, dengan harapan agar para perantau yang tinggal di luar desa mendapatkan keselamatan dan rezeki yang melimpah.

 

Namun, seiring dengan pengaruh Islam yang masuk ke Jawa, makna mudik mengalami perubahan. Selain berziarah dan berdoa, orang-orang yang mudik kini juga berkumpul dengan keluarga dan melakukan berbagai ritual keagamaan, seperti saling memaafkan dan berbuat kebaikan. Abdul Hamid Arribathi dan Qurotul Aini, dalam jurnal Mudik dalam Perspektik Budaya dan Agama (Kajian Realistis Perilaku Sumber Daya Manusia) (2018), menyatakan bahwa istilah mudik mulai populer luas pada tahun 1970-an, ketika Jakarta menjadi pusat pekerjaan bagi banyak orang dari desa. Mereka datang ke ibu kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dan Idul Fitri menjadi momen yang tepat untuk kembali ke kampung halaman.

 

وَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ أَمْلَيْتُ لَهَا وَهِىَ ظَالِمَةٌۭ ثُمَّ أَخَذْتُهَا وَإِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ ٤٨ (QS. Al-Hajj: 48)

Ayat ini mengingatkan bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan kembali kepada Sang Pencipta. Mudik, dalam konteks ini, adalah simbol dari ruju’ ilal-ashl (kembali kepada asal). Sebagaimana manusia diciptakan dari tanah dan akan kembali kepadanya, mudik adalah pengingat bahwa kita punya akar yang harus dijaga.  Ini menguatkan bahwa hakikat perjalanan hidup manusia adalah kembali. Ketika kita mudik ke kampung halaman, secara tidak sadar, kita sedang memenuhi panggilan fitrah untuk menyambung silaturahmi, memohon maaf, dan mengingat kefanaan dunia.  Jalaluddin Rumi, penyair sufi, pernah berkata, “Kau telah berkelana jauh, tapi apakah kau sudah pulang kepada dirimu sendiri”, Mudik adalah metafora dari pencarian makna hidup. Seperti kisah The Odyssey karya Homer, di mana Odysseus berjuang pulang ke Ithaca, perjalanan mudik juga sarat dengan ujian. Lelah, jauh, dan kadang penuh rintangan.

 

Namun, justru di situlah nilainya. Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar pernah menulis, “Orang yang pulang ke kampungnya setelah lama merantau, sejatinya sedang membersihkan jiwa dari debu-debu dunia”. Sebab, di sanalah ia belajar kembali tentang kesederhanaan dan ketulusan. “Martin Heidegger, filsuf eksistensialis, mengatakan, “Manusia adalah ‘being-toward-home’ (makhluk yang selalu menuju rumah). Keberadaan kita selalu terkait dengan kerinduan akan tempat asal.”  Mudik, dalam filsafat eksistensial, adalah upaya manusia menemukan authentic self (diri yang autentik) di tengah dunia yang penuh topeng.  Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari). Mudik adalah bentuk nyata dari silaturahmi. Ia bukan sekadar budaya, tapi juga ibadah yang berpahala. Dalam Islam, memuliakan orang tua dan menghormati sanak saudara adalah kewajiban.  Mudik mengajarkan kita bahwa hidup adalah siklus pergi dan kembali. Kita pergi untuk belajar, berjuang, dan berkembang tapi suatu saat, kita harus kembali untuk mengingat, bersyukur, dan merendahkan hati. Seperti nasihat Ali bin Abi Thalib “Janganlah engkau terlalu mencintai dunia, karena engkau hanya musafir yang sebentar lagi akan pulang.”

 

Mudik, Perjalanan Ruhani Kembali kepada Allah SWT

Di antara gemerlap dunia yang sementara, manusia sering kali lupa akan hakikat sejati keberadaannya. Kita sibuk dengan urusan lahiriah, mengejar harta, jabatan, dan kesenangan sesaat, hingga lupa bahwa kita hanyalah musafir yang sedang dalam perjalanan pulang. Mudik, dalam makna hakikinya, bukan sekadar tradisi tahunan kembali ke kampung halaman, melainkan simbol perjalanan abadi manusia menuju Sang Pencipta Allah SWT.

 

Mudik Lahir dan Mudik Batin

Secara zahir, mudik adalah peristiwa fisik, seseorang meninggalkan perantauan, menempuh jarak, dan kembali ke tanah kelahiran. Namun, dalam pandangan tasawuf, mudik sejati adalah kembalinya hati dari “perantauan” kelalaian menuju “kampung halaman” kesadaran Ilahi. Rumi pernah berkata: “Kau bukan tetes air di samudra, kau adalah samudra di dalam tetes.” Manusia sering merasa terpisah dari Allah, padahal hakikatnya, kita adalah bagian dari-Nya. Mudik batin adalah proses menyadari bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

“إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ”
“Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nyalah kita kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)

Rintangan dalam Perjalanan Mudik Ruhani

 

Seperti perjalanan mudik fisik yang penuh hambatan macet, kelelahan, atau godaan untuk berhenti mudik ruhani juga memiliki tantangannya sendiri:

  • Hawa Nafsu : Bagai kendaraan yang rusak, nafsu yang tak terkendali menghambat perjalanan.
  • Dunia yang Memikat : Kemewahan, pujian, dan syahwat sering membuat manusia “tersesat” di tengah jalan.
  • Kelalaian Hati : Lupa mengingat Allah adalah bentuk “tersandung” dalam perjalanan pulang.

Imam Al-Ghazali mengingatkan: “Dunia ini seperti mimpi, dan kematian adalah kesadaran. Saat kau terbangun, barulah kau tahu mana yang nyata.”

 

Bagaimana Melakukan Mudik Hakiki

  • Tinggalkan “Perantauan” Dosa : Sebelum pulang, bersihkan diri dengan taubat yang tulus, karena taubat adalah langkah pertama menuju rumah ruhani.
  • Bawa Bekal Zikir dan Ibadah : Jika mudik duniawi membutuhkan bekal materi, maka mudik ruhani memerlukan bekal spiritual: dzikir yang menghidupkan hati, shalat yang menenangkan jiwa, dan amal shaleh yang menjadi penerang jalan.
  • Temukan “Kendaraan” Cinta Ilahi : Tak ada kendaraan yang lebih cepat daripada mahabbah (cinta kepada Allah), karena ia mengangkat manusia melintasi segala hijab, mendekatkan yang jauh, dan menyatukan hamba dengan Tuhannya.

 

Mudik sejati bukanlah tentang lokasi geografis, melainkan kembalinya hati kepada Allah. Seorang sufi pernah ditanya, “Kapan seseorang sampai kepada Tuhannya”? Ia menjawab, “Ketika ia lupa segala sesuatu selain-Nya.” Maka, di balik keriuhan mudik tahunan, mari kita renungkan, Sudahkah kita mempersiapkan mudik abadi kita ??, Sebab, kematian adalah pintu mudik terakhir, saat jiwa meninggalkan “perantauan dunia” menuju keabadian di sisi-Nya. “Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, Allah akan mencukupkan urusan dunianya dan menjadikan kekayaan di dalam hatinya.” (HR. Ahmad). Semoga kita semua menjadi musafir yang sadar, bahwa setiap langkah di dunia ini adalah langkah pulang menuju Sang Maha Kekal. آمِين.

 

Selamat mudik bagi yang berkesempatan. Bagi yang belum bisa, jadikan kerinduan sebagai doa. Karena sejatinya, semua jalan akan membawa kita pulang, entah ke kampung halaman, atau kelak, ke rumah-Nya yang abadi.  “Minal ‘Aidîn wal Faizin. Mohon maaf lahir & batin. Semoga Allah kembalikan kita pada fitrah, dan pertemukan jiwa-jiwa dalam cahaya-Nya. Amîn.